Jakarta (ANTARA) - Fenomena hustle culture, yang menekankan kerja keras terus-menerus, tengah mengemuka di kalangan generasi muda dan menuai sorotan para ahli. Gaya hidup “hidup untuk kerja” ini dianggap berpotensi merusak kesehatan mental dan fisik kaum muda. Media sosial sebagai salah satu pemicu terbesar turut memperkuat tren ini.
Psikolog dari Universitas Gadjah Mada (UGM), Indrayanti, pada riset Januari 2023 menyoroti bagaimana postingan prestasi di media sosial memicu mekanisme perbandingan diri. Kondisi tersebut kemudian mematikan keseimbangan antara kerja dan kehidupan pribadi.
Pengertian hustle culture
Istilah hustle culture berkembang dari konsep workaholic atau budaya gila kerja. Gaya ini menekankan tekanan untuk selalu tampil produktif dan mendorong seseorang bekerja tanpa henti, bahkan sampai muncul rasa bersalah ketika tidak sedang sibuk.
Kultur tersebut muncul seiring dengan kehidupan serba cepat dan meningkatnya dorongan untuk mengejar kesuksesan instan. Situasi ini membuat banyak anak muda merasa harus terus bergerak dan berprestasi, meski sering kali mengorbankan waktu istirahat maupun kehidupan pribadi.
Baca juga: 7 tips produktif tanpa burnout ala Gen Z dengan gaya slow living
Dampak negatif hustle culture terhadap generasi muda
1. Kesehatan mental dan fisik terganggu
Hustle culture dikaitkan dengan burnout, gangguan tidur, stres berlebihan, serta risiko penyakit fisik akibat kurang istirahat dan overworking.
2. Timbulnya perbandingan sosial dan ketidakpuasan
Media sosial memperparah kondisi ini. Generasi muda sering membandingkan diri dengan pencapaian orang lain yang dipublikasikan lewat platform online, sehingga memicu perasaan tidak cukup dan ketidakpuasan terhadap diri sendiri.
3. Efek pada kesejahteraan (Well-Being)
Studi di UGM menunjukkan bahwa hustle culture menjadi tren di kalangan mahasiswa, mendorong mereka melampaui batas kemampuan demi pencapaian akademis atau organisasi.
4. Hasil usaha tidak selalu sejalan dengan upaya
Penelitian internasional menemukan bahwa banyak side hustle tidak menaikkan taraf hidup generasi muda secara signifikan. Sebaliknya, justru memperparah tekanan tanpa jaminan hasil yang memuaskan.
Baca juga: Daftar hobi kekinian gen Z, kreatif dan penuh inspirasi
5. Penolakan kultural dari generasi baru
Beberapa generasi Z mulai berbalik dari hustle culture demi keseimbangan hidup. Kisah seperti Ellie Kate, yang meninggalkan pekerjaan penuh dengan stres untuk menjadi barista demi kesehatan mental, mencerminkan perubahan paradigma. Kedamaian dan kesejahteraan kini dianggap lebih penting daripada pencapaian finansial cepat.
Beberapa pengguna menggambarkan hustle culture sebagai budaya yang mirip sekte, dengan tekanan terhadap tidur, stigma bagi yang tidak ikut hustle, dan jargon motivasional yang berlebihan.
Berdasarkan berbagai penelitian dan pengamatan praktisi, hustle culture adalah fenomena yang tampak menarik di permukaan karena mendorong pencapaian dan produktivitas, namun menyimpan potensi bahaya besar bagi kesehatan mental, fisik, dan kehidupan sosial.
Dengan demikian, generasi muda perlu bijak mengenali dan menolak tekanan untuk menyamakan diri dengan standar sosial yang rapuh. Kesadaran ini penting agar mereka tidak terjebak dalam pola pikir yang hanya menilai diri berdasarkan pencapaian semata.
Menjaga keseimbangan antara produktivitas dengan istirahat, relasi, dan kesenangan pribadi menjadi langkah penting. Perubahan sudut pandang kesuksesan dari sekadar kecepatan mencapai target menuju keberlanjutan, kepuasan, dan kebahagiaan jangka panjang akan membantu menciptakan hidup yang lebih sehat dan bermakna.
Baca juga: Psikolog UGM: Medsos bisa pengaruhi pemuda terjebak "hustle culture"
Baca juga: 7 strategi bagi Gen Z bangun relasi & networking dunia kerja & bisnis
Pewarta: M. Hilal Eka Saputra Harahap
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2025
Dilarang keras mengambil konten, melakukan crawling atau pengindeksan otomatis untuk AI di situs web ini tanpa izin tertulis dari Kantor Berita ANTARA.