Liputan6.com, Jakarta Stres bukan hanya soal perasaan gelisah atau cemas. Sejumlah penelitian membuktikan, kondisi ini bisa memengaruhi cara kerja otak manusia, bahkan mengubahnya. Dalam jangka panjang, stres dapat memengaruhi ingatan manusia.
Dilansir dari Harvard Health Publising, kepala bagian ilmiah di Rumah Sakit McLean dan profesor psikiatri di Fakultas Kedokteran Harvard, Dr. Kerry Ressler, mengatakan, bahwa sebuah studi pada hewan dan manusia menunjukkan bukti yang jelas bahwa stres memengaruhi fungsi otak.
Para peneliti juga telah melihat adanya perubahan cara kerja otak dalam mencerna informasi saat mengalami stres, seperti mengganggu kognisi, atensi, dan memori.
Selain itu, menurut Jill Goldstein, profesor psikiatri dan kedokteran di Harvard Medical School, stres bukan hanya memengaruhi ingatan dan berbagai fungsi otak lainnya, tetapi juga berdampak buruk pada kesehataan jantung.
Perlu diingat, bahwa dampak stres pada tubuh dan otak manusia berbeda-beda, bergantung pada penyebab, kapan terjadinya stres, dan durasi stres masing-masing individu.
Mengenal Cara Kerja Otak
Ressler mengatakan, otak bukan sebuah organ yang berdiri-sendiri, tetapi memiliki banyak bagian di dalamnya, dengan berbagai fungsi berbeda.
Para peneliti juga menyebut, ketika salah satu bagian dari otak aktif, bagian lainnya mungkin akan kesulitan untuk menjalani tugasnya sendiri. Dengan kata lain, otak sulit untuk multitasking.
Misalnya, ketika seseorang berada di situasi berbahaya atau situasi yang menguras emosi, bagian dari otak yang bernama amigdala, yang befungsi untuk mengaktifkan insting bertahan hidup, akan mengambil alih otak.
Ketika insting bertahan hidup diaktifkan, bagian otak lain yang berfungsi untuk mengumpulkan ingatan dan mengerjakan tugas kompleks menjadi tertinggal, energinya menjadi lebih kecil.
“Ide dasarnya, otak mengalihkan sumber dayanya karena berada dalam mode bertahan hidup, bukan mode mengingat,” kata Ressler.
Hal tersebut yang membuat seseorang menjadi lebih pelupa saat mengalami stres atau bahkan mengalami kehilangan ingatan selama mengalami peristiwa traumatis.
Tidak semua stres berefek sama pada setiap individu. Menurut Goldstein, efek stres tergantung pada penyebab stres tersebut terjadi pada seseorang. Stres juga bisa disebabkan karena perubahan hormon.
Beberapa hormon yang dikenal dengan hormon gonad, yang keluar dalam jumlah besar selama masa perkembangan janin, pubertas, kehamilan, dan berkurang selama masa menopause dapat memengaruhi stres.
“Misalnya, penurunan hormon fonas estradinol selama masa transisi menopause dapat mengubah cara otak kita merespons stres,” kata Goldstein.
Dampak Jangka Panjang Stres pada Otak
Ressler mengatakan, terdapat bukti bahwa stres kronis atau berkepanjangan dapat mengubah cara kerja otak.
Para peneliti telah mempelajari bagaimana perubahan kerja otak akibat stres berkepanjangan melalui studi yang dilakukan pada hewan yang mengalami stres berkepanjangan. Aktivitas bagian otak mereka yang berfungsi untuk menangani tugas kompleks–seperti korteks prefrontal– menjadi lebih kecil aktivitasnya.
Sementara, aktivitas menjadi lebih banyak terjadi di bagian primitif otak, seperti amigdala, yang befokus pada keberlangsungan hidup (insting bertahan hidup).
Menurut Ressler, efek ini sangat mirip dengan situasi di mana seseorang yang fokus melatih satu bagian tubuh, tetapi melupakan bagian lainnya. Bagian yang sering diaktifkan akan jauh lebih kuat, sedangkan bagian yang jarang diaktifkan akan lebih lemah.
Ini yang terjadi saat seseorang mengalami stres berkepanjangan. Insting bertahan hidup akan terus aktif dan bagian otak lain yang bertugas untuk pemikiran yang lebih kompleks menjadi tidak penting.
Ressler menyebut, perubahan dalam otak ini bisa saja pulih kembali dalam beberapa kasus, tetapi dalam beberapa kasus lain, perubahan ini justru sulit untuk dipulihkan, tergantung dari seberapa lama stres terjadi.
Jika stres terjadi di masa kecil, dampaknya mungkin bisa lebih berat karena saat itu otak masih berkembang. Tetapi, penelitian lain justru menunjukkan orang-orang yang mengalami trauma masa kecil, mereka tetap tangguh.
Ternyata, itu terkait dengan munculnya mekanisme baru di otak, yaitu jalur atau hubungan saraf tambahan yang berfungsi untuk menutupi atau mengimbangi kerusakan akibat stres sebelumnya. Dengan kata lain, otak menciptakan “jalur cadangan” untuk mengatasi dampak buruk stres masa lalu.
Apakah Semua Stres Berdampak Sama?
Meskipun telah ada bukti bahwa stres bisa berdampak pada otak, masih belum jelas jenis stres apa yang bisa meningkatkan risiko masalah ingatan di kemudia hari. Apakah itu stres ringan atau stres jangka panjang?
“Itu adalah pertanyaan yang sulit, karena stres adalah istilah umum yang digunakan untuk menggambarkan banyak situasi berbeda,” kata Ressler.
Stres yang dialami karena akan menghadapi ujian kemungkinan besar berbeda dengan stres yang terjadi karena terlibat dalam kecelakaan mobil atau karena penyakit yang berkepanjangan.
“Tentu saja, stres yang lebih berat kemungkinan lebih buruk, dan stres jangka panjang umumnya lebih buruk daripada stres jangka pendek,” ujar Ressler.
Ada beberapa faktor penyebab stres menjadi berbahaya menurut Ressler, yaitu:
- Stres tidak bisa diprediksi
Menurut hasil sebuah riset terhadap hewan, menunjukkan bahwa hewan yang bisa mengantisipasi pemicu stres, lebih sedikit tingkat stresnya. Hal tersebut berlaku juga pada manusia, ketika stres bisa diantisipasi, dampaknya akan lebih kecil dibandingkan dengan stres yang tidak bisa diprediksi.
- Stres tidak ada batas waktunya
Jika stres terjadi karena akan menghadapi presentasi atau ujian, pasti ada titik akhirnya di mana seseorang akan kembali merasa lega. Namun, jika stres yang dialami tidak memiliki titik akhir, seperti karena keuangan, stres mungkin akan sulit untuk diatasi.
- Kekurangan dukungan
Ketika seseorang mendapat dukungan saat mengalami stres, kemungkinan besar stres akan berhasil diatasi, dibandingkan dengan tidak mendapatkan dukungan.