Liputan6.com, Jakarta - Ancaman kepunahan bahasa lokal di belahan dunia kini menemukan harapan baru dari teknologi.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), satu bahasa lokal punah setiap dua minggu, dan separuh dari seluruh bahasa di dunia diperkirakan akan menghilang pada tahun 2100.
Mengutip CNN, Rabu (3/9/2025), sekelompok generasi muda menggunakan kecerdasan buatan (AI) dan robotika untuk menghidupkan kembali bahasa asli komunitas mereka.
Seorang pemuda bernama Danielle Boyer, yang berasal dari komunitas Anishinaabe di Michigan, Amerika Serika, menjadi salah satu pelopornya.
Ia menciptakan robot pengajar bahasa bernama SkoBot. "Di komunitas kami, hilangnya bahasa antar-generasi terjadi sangat cepat," ujar Boyer.
Ia menambahkan banyak kakek-neneknya menggunakan bahasa Anishinaabemowin. Orang tua mereka hanya bisa berbicara sedikit, bahkan generasinya berbicara lebih sedikit lagi.
Proyek Boyer ini menjadi bagian dari dorongan besar untuk melestarikan bahasa lokal dengan bantuan teknologi.
SkoBot, Robot Pengajar Bahasa untuk Anak-anak
Danielle Boyer menciptakan SkoBot, sebuah robot seukuran cangkir kopi yang berbentuk hewan hutan, terinspirasi dari mainan Elmo yang bisa berbicara.
Robot ini dirancang untuk diletakkan di bahu pengguna agar dapat melakukan percakapan interaktif dua arah.
SkoBot menggunakan teknologi pengenalan suara AI untuk mengidentifikasi sebuah kata dalam bahasa Inggris, lalu memutar audio yang sudah direkam sebelumnya dari kata yang sama dalam bahasa Anishinaabemowin.
Proyek ini dibuat khusus untuk anak-anak di ruang kelas, dan audio yang digunakan pun merupakan suara dari anak-anak di komunitas itu.
Hal ini dilakukan Boyer karena SkoBots dirancang untuk digunakan dalam pembelajaran bahasa oleh anak-anak di kelas. Ia juga menambahkan, anak-anak dikelas juga bisa membangun dan merakit robot miliknya sendiri.
Hal ini dapat memberikan pengalaman belajar yang seru sekaligus memperkenalkan mereka pada edukasi Sains, Teknologi, Teknik, dan Matematika (STEM).
Kamus dan Penerjemah AI untuk Bahasa Suku
Jared Coleman, seorang asisten profesor dari California, juga terinspirasi untuk menyelamatkan bahasa suku Paiute Lembah Owens yang hampir punah.
Pengalaman pahit yang menimpa kakek buyutnya dulu, di mana ketika bahasa mereka dilarang digunakan di sekolah, membuatnya tergerak untuk menggunakan ilmu komputer.
Coleman pun melatih model bahasa besar (Large Language Model) AI seperti GPT-3.5-turbo dan GPT-4 dengan kata-kata dari bahasanya.
Dengan hasil pelatihan tersebut, Coleman berhasil menciptakan kamus Owens Valley Paiute online, pembuat kalimat, dan penerjemah, dan berharap dapat terus mengembangkan alat pembelajaran bahasa yang lebih canggih.
Ia mengatakan tujuan alat ini dibuat adalah "terutama untuk membantu anggota komunitas," tetapi ia juga berharap alat tersebut bisa menarik minat turis yang berkunjung ke daerahnya.
Tantangan Etika dan Akurasi di Balik AI
Meskipun AI dapat memecahkan solusi untuk melestarikan bahasa, ada tantangan etika yang harus diperhatikan.
Boyer sengaja tidak menggunakan audio hasil AI, melainkan lebih memilih menggunakan suara asli yang sudah direkam sebelumnya.
Ia menyebut “Bahasa adalah makhluk hidup … pembelajaran bahasa tidak boleh terjadi hanya dengan robot atau di ponsel Anda, tetapi harus selalu dilakukan bersama anggota komunitas.”
Boyer juga memastikan anggota komunitas yang merekam suara tetap memiliki hak penuh atas rekaman tersebut untuk mencegahnya dari eksploitasi dari perusahaan besar.
Hal yang sama juga dilakukan oleh Coleman. Ia tidak memasukkan rekaman suara para leluhurnya secara langsung ke dalam model AI-nya, karena beberapa di antaranya ada lagu dan cerita suci yang sakral.
Baik Boyer maupun Coleman, mereka sepakat bahwa akurasi AI juga masih menjadi masalah. Mereka mengingatkan bahwa "bahasa jauh lebih dari sekadar kata-katanya," karena di dalamnya terkandung budaya dan sejarah dari suatu komunitas.