HARI ini, tepat 21 tahun lalu, Munir Said Thalib tewas dalam penerbangan menuju Amsterdam. Aktivis HAM itu diracun dengan menggunakan arsenik yang dimasukkan ke dalam minumannya.
Setiap tahun, kepergiannya dikenang oleh masyarakat, terutama mereka yang terjun di dunia HAM. Sebab, meski pelakunya sudah diadili, tapi dalang di balik kematian Munir masih belum terungkap.
Siapa Munir?
Munir lahir pada 8 Desember 1965 di Malang. Selama menjadi mahasiswa, Munir telah menjadi aktivis hingga menjadi ketua senat mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Brawijaya pada 1988. Ia juga terlibat Asosiasi Mahasiswa Hukum Indonesia pada tahun 1989 dan masuk anggota Forum Studi Mahasiswa untuk Pengembangan Berpikir Universitas Brawijaya pada tahun 1988.
Pada 1998, Munir ikut dalam pendirian Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS), sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak di bidang hak asasi manusia, terutama penghilangan paksa dan pelanggaran hak asasi manusia lainnya. Munir menjabat sebagai Koordinator Badan Pekerja Kontras yang ikut menangani kasus penghilangan paksa dan penculikan para aktivis HAM (1997-1998) dan mahasiswa korban penembakan Tragedi Semanggi (1998).
Setelah Kontras, Munir menjabat sebagai direktur Imparsial, yaitu sebuah lembaga swadaya masyarakat yang mengawasi penegakan dan penghormatan HAM di Indonesia. Berkat kegigihannya menegakkan HAM kaum tertindas, terutama pada kaum buruh, Munir dianugerahi banyak penghargaan.
Tahun 1998, majalah Ummat menobatkan Munir sebagai Man of the Year. Lalu, pada 2000, Munir dianugerahi Right Livelihood Award bersama-sama Tewolde Berhan Gebre Egziabher, Birsel Lemke, dan Wes Jackson. Selain itu, UNESCO pernah memberikan penghargaan terhadap Munir atas honourable mention pada Penghargaan Madanjeet Singh untuk Pemajuan Toleransi dan Nirkekerasan.
Poengky Indarti, pengacara sekaligus direktur bidang operasional di Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya tahun 1993-2000 bercerita tentang aktivitas Munir. Menurut dia, tentara sering geram melihat aktivitas Munir yang mendorong buruh di Jawa Timur berserikat hingga menuntut hak lewat mogok kerja.
Suatu waktu, Poengky berujar Munir mendapat gertakan dari salah seorang petinggi militer di provinsi tersebut. "Dia mengancam Munir, 'Kamu saya jadikan sosis kalau begini terus'," kata mantan Komisioner Komisi Kepolisian Nasional itu. "Tapi Munir cuek saja."
Meski begitu, Poengky mengatakan pengalaman Munir dengan tentara tidak hitam dan putih. Munir tidak selalu berseberangan dengan para prajurit. Munir, kata dia, juga memiliki koneksi di angkatan bersenjata.
Setelah Munir pindah dari Jawa Timur ke Jakarta pada 1995, Poengky menuturkan mentornya itu tetap lantang mengkritik militerisme di tubuh Orde Baru. Namun dia tidak menutup diri dari tentara. Munir terkadang berdiskusi dengan mereka.
Poengky pernah menyaksikan sejumlah tentara datang ke kantor Imparsial, lembaga pemantau hak asasi manusia yang didirikan Munir di Jakarta untuk berbincang-bincang. "Mereka membocorkan berbagai informasi," ucap Poengky.